27 Desember 2014
Hari itu menjadi hari yang tak terlupakan bagi saya. Setelah beberapa hari merasakan beberapa tanda-tanda tak lazim, saya memutuskan untuk periksa ke dokter kandungan pada siang hari. Hari itu saya pertama kali diperiksa dengan memakai USG. Alhamdulillah, saya dinyatakan positif hamil. Takjub rasanya ketika melihat kantong janin yang ada di dalam rahim saya. Ya, masih berupa kantong janin karena usia kandungan diperkirakan masih sekitar 5 pekan. Saya pun segera memberitahu kabar bahagia ini pada keluarga. Semua berbahagia.
28 Desember 2014
Hari itu, lagi-lagi, menjadi hari yang tak terlupakan bagi saya. Pagi hari, tiba-tiba saya merasakan nyeri pinggang yang amat hebat. Semakin lama semakin kuat. Ternyata, saya mengalami pendarahan yang cukup banyak. Saya pun diantar suami menuju RS yang kemarin saya datangi untuk periksa kehamilan. Kami lupa bahwa di hari Minggu, tak ada dokter spesialis yang jaga. Saya pun disarankan untuk menuju RSIA yang jaraknya tak begitu jauh. Lagi-lagi, kami tak bisa menemukan dokter spesialis disana.
Saya pun meminta untuk pergi konsultasi ke bidan saja. Saya mendapat penjelasan panjang lebar dari bidan. Intinya, saya diminta untuk segera masuk UGD di RS umum karena saya harus segera mendapat penanganan.
Sesampainya di RS pada siang hari, para perawat langsung mendudukkan saya di kursi roda begitu mereka mengetahui saya mengalami pendarahan. Saya dibawa masuk ke UGD. Setelah diperiksa, diketahui bahwa pintu rahim telah terbuka. Sembari menunggu dokter yang baru tiba di sore hari, saya pun segera diinfus di tangan kiri.
Keluarga saya kembali saya hubungi. Namun, kali ini dengan berita yang berbeda. Berita yang membuat semua cemas, khawatir, dan berdoa memohon yang terbaik.
Selama menunggu dokter, saya bersebelahan dengan seorang ibu yang hendak melahirkan. Allah, di sebelah saya, ibu dan bapak itu akan segera bertemu dengan bayinya. Di sisi lain, ada saya dan suami yang terancam kehilangan calon bayi kami. Saya menanti dalam kegelisahan hingga sekitar pukul 15.30, dokter akhirnya datang. Saya pun dibawa ke ruang kebidanan dan kembali di-USG.
“Bapak, Ibu, kantong janinnya sudah tidak ada, sudah luruh. Berarti sudah keguguran ya. Sekarang tinggal sisanya, sebaiknya dikuret agar tidak menimbulkan masalah ke depannya.”
Saya dan suami pun terhenyak. Ini bukan mimpi, ini realita yang harus kami hadapi. Kami pun setuju untuk dilakukan kuret.
Saya kembali dibawa ke UGD. Perawat mengambil darah di daun telinga dan di lengan tangan sebelah kanan untuk pemeriksaan hemoglobin. Beberapa waktu kemudian, mereka memasangkan selang oksigen ke hidung saya, kemudian saya dibius total. Sesaat setelah bius masuk melalui selang infus saya, saya langsung merasa dunia berputar. Saya jatuh bangun di dalam kotak-kotak besar, berputar, jatuh, bangun, masuk kotak lain, berputar lagi, jatuh lagi, begitu seterusnya hingga saya mulai sadar dari pengaruh bius. Saya hanya dapat mendengar suara, tapi berat untuk membuka mata. Saya merasakan pinggang dan perut amat sakit disertai dengan mual parah. Tapi dunia saya masih berputar. Karena merasa kurang nyaman, spontan saya berteriak-teriak. Perawat di sebelah saya menenangkan saya. Ia berkata bahwa itu adalah efek dari kuret yang telah selesai dilakukan. Mendadak saya tenggelam lagi dalam dunia yang berputar. Ketika sadar lagi, suami saya telah berada di samping saya, memperdengarkan saya dengan tilawahnya, dan sesekali memanggil-manggil saya. Setelah agak lama timbul-tenggelam dalam putaran, akhirnya saya dapat membuka mata. Saya pun dinyatakan sadar total.
Tak lama setelah saya sadar, para tetangga berdatangan menghibur saya dan mengatakan saya harus ikhlas. Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik.
Kini, saya sudah beristirahat di rumah, kembali berdua dengan suami. Berdua saja, tanpa calon bayi kami. Sedih? Manusiawi. Air mata? Itu lumrah. Putus asa? Marah? Jangan pernah. Saya dan suami yakin ini adalah ujian yang harus kami lalui dengan lapang hati. Ada banyak hikmah bila kami mau melihat dengan jernih. Kami punya kisah yang dapat saling menguatkan rasa sabar, syukur, dan cinta.
Insya Allah.