RSS

Lima Pekan Menjadi Calon Ibu

27 Desember 2014

Hari itu menjadi hari yang tak terlupakan bagi saya. Setelah beberapa hari merasakan beberapa tanda-tanda tak lazim, saya memutuskan untuk periksa ke dokter kandungan pada siang hari. Hari itu saya pertama kali diperiksa dengan memakai USG. Alhamdulillah, saya dinyatakan positif hamil. Takjub rasanya ketika melihat kantong janin yang ada di dalam rahim saya. Ya, masih berupa kantong janin karena usia kandungan diperkirakan masih sekitar 5 pekan. Saya pun segera memberitahu kabar bahagia ini pada keluarga. Semua berbahagia.

28 Desember 2014

Hari itu, lagi-lagi, menjadi hari yang tak terlupakan bagi saya. Pagi hari, tiba-tiba saya merasakan nyeri pinggang yang amat hebat. Semakin lama semakin kuat. Ternyata, saya mengalami pendarahan yang cukup banyak. Saya pun diantar suami menuju RS yang kemarin saya datangi untuk periksa kehamilan. Kami lupa bahwa di hari Minggu, tak ada dokter spesialis yang jaga. Saya pun disarankan untuk menuju RSIA yang jaraknya tak begitu jauh. Lagi-lagi, kami tak bisa menemukan dokter spesialis disana.

Saya pun meminta untuk pergi konsultasi ke bidan saja. Saya mendapat penjelasan panjang lebar dari bidan. Intinya, saya diminta untuk segera masuk UGD di RS umum karena saya harus segera mendapat penanganan.

Sesampainya di RS pada siang hari, para perawat langsung mendudukkan saya di kursi roda begitu mereka mengetahui saya mengalami pendarahan. Saya dibawa masuk ke UGD. Setelah diperiksa, diketahui bahwa pintu rahim telah terbuka. Sembari menunggu dokter yang baru tiba di sore hari, saya pun segera diinfus di tangan kiri.

Keluarga saya kembali saya hubungi. Namun, kali ini dengan berita yang berbeda. Berita yang membuat semua cemas, khawatir, dan berdoa memohon yang terbaik.

Selama menunggu dokter, saya bersebelahan dengan seorang ibu yang hendak melahirkan. Allah, di sebelah saya, ibu dan bapak itu akan segera bertemu dengan bayinya. Di sisi lain, ada saya dan suami yang terancam kehilangan calon bayi kami. Saya menanti dalam kegelisahan hingga sekitar pukul 15.30, dokter akhirnya datang. Saya pun dibawa ke ruang kebidanan dan kembali di-USG.

“Bapak, Ibu, kantong janinnya sudah tidak ada, sudah luruh. Berarti sudah keguguran ya. Sekarang tinggal sisanya, sebaiknya dikuret agar tidak menimbulkan masalah ke depannya.”

Saya dan suami pun terhenyak. Ini bukan mimpi, ini realita yang harus kami hadapi. Kami pun setuju untuk dilakukan kuret.

Saya kembali dibawa ke UGD. Perawat mengambil darah di daun telinga dan di lengan tangan sebelah kanan untuk pemeriksaan hemoglobin. Beberapa waktu kemudian, mereka memasangkan selang oksigen ke hidung saya, kemudian saya dibius total. Sesaat setelah bius masuk melalui selang infus saya, saya langsung merasa dunia berputar. Saya jatuh bangun di dalam kotak-kotak besar, berputar, jatuh, bangun, masuk kotak lain, berputar lagi, jatuh lagi, begitu seterusnya hingga saya mulai sadar dari pengaruh bius. Saya hanya dapat mendengar suara, tapi berat untuk membuka mata. Saya merasakan pinggang dan perut amat sakit disertai dengan mual parah. Tapi dunia saya masih berputar. Karena merasa kurang nyaman, spontan saya berteriak-teriak. Perawat di sebelah saya menenangkan saya. Ia berkata bahwa itu adalah efek dari kuret yang telah selesai dilakukan. Mendadak saya tenggelam lagi dalam dunia yang berputar. Ketika sadar lagi, suami saya telah berada di samping saya, memperdengarkan saya dengan tilawahnya, dan sesekali memanggil-manggil saya. Setelah agak lama timbul-tenggelam dalam putaran, akhirnya saya dapat membuka mata. Saya pun dinyatakan sadar total.

Tak lama setelah saya sadar, para tetangga berdatangan menghibur saya dan mengatakan saya harus ikhlas. Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik.

Kini, saya sudah beristirahat di rumah, kembali berdua dengan suami. Berdua saja, tanpa calon bayi kami. Sedih? Manusiawi. Air mata? Itu lumrah. Putus asa? Marah? Jangan pernah. Saya dan suami yakin ini adalah ujian yang harus kami lalui dengan lapang hati. Ada banyak hikmah bila kami mau melihat dengan jernih. Kami punya kisah yang dapat saling menguatkan rasa sabar, syukur, dan cinta.

Insya Allah.

siluet-suami-istri-ikhwan-akhwat-matahari

 
4 Comments

Posted by on December 30, 2014 in Uncategorized

 

Sepekan di Kupang : Adaptasi

Sepekan sudah saya berada di Kupang – Nusa Tenggara Timur, belahan Indonesia yang tidak pernah terbayangkan akan saya kunjungi, apalagi untuk ditinggali. Tempat yang awalnya serasa penuh misteri, namun ternyata sarat akan cerita.

MASYARAKAT

                Ada kejadian unik saat saya naik taksi dari Bandara El Tari, pada hari kedatangan saya. Taksi yang saya tumpangi hampir tertabrak oleh angkutan umum yang dikemudikan agak sembarangan. Walhasil, sang sopir taksi langsung memaki-maki sambil menyebut banyak nama hewan dengan suara yang sangat lantang. Sejenak saya berpikir, jangan2 mayoritas penduduk di sini memiliki karakter yang sama. Faktanya? Saya kira tidak. Selama bertugas di bagian pelayanan kantor, saya banyak berjumpa dengan masyarakat yang polos, malu-malu, dan memiliki sopan santun.

         Mereka berbicara dengan cepat, menggunakan bahasa Kupang yang belum saya pahami. Seringkali saya meminta terjemahannya dari rekan saya. Kalau orang2 Kupang sedang berkumpul, bercerita, dan tertawa2, saya hanya menatap mereka dengan muka mengharap iba. Bahasa Kupang banyak menyingkat kata. Begini contohnya: “Besong pi sa, beta su makan”, artinya : “Kamu PergI SajA, saya SUdah makan”. Seru bukan? 😀

BIAYA HIDUP

                Tidak banyak barang yang harganya melambung tinggi, contohnya gas elpiji dan air. Saya tercengang mendengar harga gas elpiji dan tabungnya, 700 ribu rupiah. Serasa beli emas ya. Mayoritas penduduk sini ternyata memakai kompor minyak bersumbu yang harganya jauh lebih terjangkau, termasuk saya. Sementara itu, air di sini sedikit berkapur. Untuk keperluan minum, saya memakai air mineral galon yang harganya di atas 30 ribu rupiah, sedangkan di Jawa hanya 15 ribu rupiah saja.

                NTT termasuk daerah yang rawan kekeringan. Jika musim kemarau datang, air sedikit susah dicari, seperti yang terjadi saat ini. Di rumah dinas yang saya tempati, keran air hanya hidup 2X dalam sehari (pagi dan sore), tapi bisa juga 1X sehari. Masih ingat kan iklan air mineral jaman dahulu kala yang menampilkan anak kecil bahagia sambil berujar “Sumber air su dekat” atau “Sumber air sudah dekat”? Jadi, kebahagiaan mendapatkan air di sini dengan mudah adalah sebuah realita 😀

                Bagaimana dengan harga bahan pokok lainnya? Saya kira, tidak berbeda jauh dengan harga di Jawa.

LINGKUNGAN

                Di sini mudah sekali bertemu pantai yang cantik. Pantai-pantai tersebut bersisian dengan jalan yang dilalui ramai kendaraan. Kalau lelah dengan rutinitas, ke pantai saja sambil menikmati sunset. Asyik, bukan? Meski terletak di daerah pantai2, jalan2 di Kupang banyak sekali memiliki tanjakan dan turunan ala daerah pegunungan. Situasinya juga relatif sepi. Hanya sesekali saja tiba2 terdengar suara musik kencang sekali. Ternyata sumber suara adalah dari angkutan kota yang banyak dikemudikan oleh anak muda. Musik tersebut memang diputar keras2 untuk menarik minat penumpang.

                Di Kupang juga banyak saya jumpai hotel, supermarket, dan restoran mewah. Posisinya sebagai ibu kota provinsi membuatnya demikian. Jadi, Kupang bukan termasuk kota terpencil, kan? 😀

MENJADI MINORITAS

                Muslim menjadi minoritas di sini. Tak heran jika hewan2 yang tidak boleh disentuh banyak berkeliaran serta dagingnya banyak diperjualbelikan. Ada salah satu toko yang menjual daging dan ayam halal hingga menjadi pilihan banyak orang.

                Masjid pun jarang dijumpai. Saya bersyukur masih bisa mendengar suara adzan ketika di rumah dan di kantor. Berbeda dengan situasi di Kampung Solor dan Kampung Air Mata yang merupakan perkampungan muslim. Saya baru pernah mengunjungi Kampung Solor yang memiliki agenda rutin pengajian pekanan. Pengajian dihadiri oleh muslim pendatang dan muslim asli Kupang.

                Bicara tentang pengajian, para ibu yang menempati rumah dinas di lingkungan saya juga berinisiatif untuk mengadakan pengajian bulanan dengan mengundang seorang ustadz, meski pesertanya hanya segelintir saja.

—-

Bercerita tentang Kupang sepertinya akan sangat panjang. Kupang yang unik, indah, dan toleran. Jika Anda ingin tahu lebih banyak tentang Kupang, tidak ada salahnya untuk menjadikannya sebagai tujuan perjalanan 😀

Selamat menikmati kehidupan!

 
1 Comment

Posted by on November 15, 2014 in Uncategorized

 

Kota Penempatan dan Mutasi. Edisi: Jakarta.

Jakarta. Apa yang kalian pikirkan tentang kota ini? Bagaimana rasanya berkeluarga di kota idaman banyak orang ini? Mari sedikit saya ceritakan.

Ya, sedikit saja karena awal berkeluarga, saya “hanya” tinggal di Tangerang Selatan yang berbatasan langsung dengan Jakarta Selatan. Biaya hidup di sini masih tergolong terjangkau, apalagi saya tinggal di Pondok Jurangmangu Indah (PJMI) yang berdekatan dengan kampus STAN.

Alhamdulillah, untuk urusan tempat tinggal, kami tinggal di sebuah kos tanpa ada orang lain selain ibu kos. Ibu kos yang baik hati, taat beribadah, suka berbagi, serta merelakan kami tinggal dan memakai semua perabotan rumahnya hanya dengan biaya lima ratus ribu rupiah tiap bulannya. Ibu kos yang hobi pergi sampai-sampai hampir tidak pernah tidur malam di rumahnya sendiri. Jadilah saya dan suami seperti memiliki rumah pribadi.

Yang mungkin merasakan kelelahan tinggal di daerah sini adalah suami. Bagaimana tidak? Berkantor di Jakarta Pusat mengharuskannya berangkat pagi-pagi buta dan kembali ke rumah ketika malam telah tiba. Pilihannya ada dua. Berkendara dengan motor dengan risiko badan pegal-pegal setiap hari atau memanfaatkan KRL yang mengharuskan bersesakan dengan lain penumpang. Bagaimana dengan saya yang belum bekerja? Saya sempat menjadi tentor di bimbingan belajar. Lumayan, bisa untuk menyicil belajar TKD 😀

Untuk mengisi akhir pekan, Jakarta memang cukup banyak tempat wisata (jasmani atau rohani) yang cocok jadi tujuan. Wisata jasmani, tentu banyak yang sudah tahu. Sebut saja Monas, TMII, Kota Tua, Dufan, jalan-jalan dengan bis wisata, dan lain-lain segala rupa. Apalagi jika malam tiba. Gemerlap cahaya di pusat kota mampu sedikit meredakan lelah. Untuk wisata rohani, banyak sekali kajian-kajian ilmu kegamaan yang tersebar di berbagai lokasi. Jika akhir pekan ingin banyak di rumah saja, biasanya saya dan suami hanya mengikuti agenda-agenda di lingkungan sekitar, misalnya yang diselenggarakan oleh mahasiswa STAN.

giakarta-by-night-1407486884(Jakarta di malam hari)

Hidup di Jakarta mungkin menyenangkan, mungkin juga melelahkan. Polusi dan kemacetan sudah menjadi kawan harian, tapi majelis ilmu mudah kita temukan. Menguras energi dan waktu untuk mencapai banyak tempat tujuan, tapi akan terbayar dengan banyak hal yang kita dapatkan.

Lima bulan berkeluarga di Jakarta, banyak cerita, banyak hikmah.
Selanjutnya? Semoga saya segera sampai ke Kupang dan dapat menceritakan.
🙂

 
Leave a comment

Posted by on October 2, 2014 in Uncategorized

 

Sewa Wedding Dress Ala Robbani

Assalamu’alaikum salihah!

Selamat datang di blog saya 😀

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah. Walimatul ‘ursy pernikahan saya telah digelar pada tanggal 4-5 April 2014. Dua dari banyak hal yang paling berkesan dalam persiapan walimahan tersebut adalah wedding blog dan wedding dress yang saya (dan beberapa pihak) rancang dengan terinspirasi dari beberapa sumber. Saya ingin agar dua hal tersebut bisa mengispirasi banyak orang agar dapat melakukan hal yang sama, bahkan lebih baik lagi nantinya.

Yang pertama adalah wedding blog saya yang bisa dikunjungi di wdinvitation.wordpress.com. Wedding blog yang berisi undangan, kisah singkat, dan artikel penikahan ini disusun oleh saya dan (calon) suami dengan komunikasi yang sangat terbatas. Maklum, belum jadi pasangan halal.

Yang kedua adalah wedding dress. Di kota saya, sulit ditemui perias yang bisa mengkreasikan hijab syar’i. Saya masih teringat dengan pengalaman menyedihkan saat harus dirias di pernikahan kakak saya tahun 2012 lalu. Periasnya sama sekali tidak bisa membuat jilbab saya nampak rapi dan anggun. Saya pun meminta ganti model beberapa kali sampai mereka kesal pada saya. *nangis*

Melihat pengalaman lalu itu, saya pun memutuskan untuk berkreasi pada wedding dress saja. Terinspirasi dari baju pengantin robbani di bawah ini, saya meminta seorang penjahit untuk membuatkan baju yang semisal ini.

Gambar

Berbagai penyesuaian dilakukan untuk menekan biaya. Kalau mirip dengan milik robbani itu, harganya mahaaaal sekali. Dan, inilah hasilnya. Tadaaa.

Gambar

(Nampak Depan)

Gambar

 (Nampak Belakang)

Gambar

(Sebelum kain penutup dada dipasang)

IMG_4734

 (Ketika dikenakan *Maaf saya edit fotonya, soalnya malu. hehe. Warnanya bajunya jadi ikut berubah.)

Untuk baju akad, saya meminta model yang simple saja. Berikut ini gambarnya.

Gambar

(Sebelum kain penutup dada dipasang)

Gambar

(Kain penutup dada)

Dengan model-model baju yang saya pesan tersebut, saya merasa lebih tenang ketika perias mengkreasikan jilbab saya. Meski demikian, saya mencoba browsing dulu model jilbab pengantin yang cantik, anggun, namun tidak berlebihan. Setelah ketemu, barulah saya request ke periasnya. Periasnya pun menyanggupi dan hasilnya bagus meski tidak persis contoh (menurut saya). Alhamdulillah, senangnyaaa.

Dan kini, saya memutuskan untuk menyewakan wedding dress atau baju pengantin syar’i ala robbani itu agar bisa bermanfaat dan tidak berdiam diri di lemari saya saja. Hehe. Bagi saudari shalihah yang berminat untuk menyewa atau tanya-tanya, bisa hubungi saya via email darisudutbumi@gmail.com atau PM saya via facebook. Nanti bisa saya kirim foto pernikahan saya ketika memakai baju-baju itu.

Oke, sekian tulisan saya kali ini. Semoga bermanfaat ya. Dan, semoga saudari shalihah yang sedang mempersiapkan hari bahagianya diberi kelancaran oleh Allah sampai hari H. Aamiin.

Wassalamu’alaikum!

 
4 Comments

Posted by on June 16, 2014 in Uncategorized

 

Siap Menerima, Siap Melepaskan

Gambar

Direktorat Jenderal Perbendaharaan Negara (DJPB). Dulu, semasa kuliah, saya sangat berharap terhindar dari instansi itu. Instansi yang terkenal memiliki kantor di seluruh wilayah Indonesia hingga ke pelosoknya. Namun entah mengapa, ketika membaca namanya disebut di proposal sebagai tempat kerja (calon) suami, yang terlintas di benak berubah menjadi: “Mungkin ini kesempatan saya untuk menjelajah Indonesia, menebar kebaikan bersama suami.” Setelah mempertimbangkan segala aspek, saya mantap untuk menerimanya—calon suami saya itu—sebagai pendamping hidup dengan konsekuensi yang harus saya jalani. Menjadi istri seorang pegawai DJPB.

Empat hari setelah menikah, saya sudah diboyong suami ke Bintaro. Sesampainya di Bintaro, kami harus berpisah selama tiga pekan lebih karena suami harus menjalani assessment dan prajabatan di luar Bintaro.  Adakalanya rasa sedih hinggap di hati. Namun, saya teringat bahwa saya tidak boleh mengasihani diri saya sendiri seolah-olah ini adalah ujian yang amat berat. Saya telah belajar banyak tentang ketegaran dan kesetiaan ibu yang tinggal berjauhan dengan ayah selama beberapa tahun. Jika ibu saya mampu, bukankah sebagai anak, saya harus jauh lebih hebat daripada itu?

Lagipula, semestinya saya malu jika bercermin pada kisah Zulebid, pemuda yang hidup di zaman Rasulullah. Zulebid yang baru saja menikah harus segera pergi hari itu juga karena ada panggilan untuk berjihad dalam perang.

“Duhai istriku yang senyumannya menancap hingga ke relung batinku, demikian besar tumbuhnya cintaku kepadamu, namun panggilan Allah untuk berjihad melebihi semua kecintaanku itu. Aku mohon keridhoanmu sebelum keberangkatanku ke medan perang. Kiranya Allah mengetahui semua arah jalan hidup kita ini,” Zulebid meminta izin pada istrinya.

Apa jawaban sang istri?

“Pergilah suamiku, betapa besar pula bertumbuhnya kecintaanku kepadamu, namun hak Yang Maha Adil lebih besar kepemilikannya terhadapmu. Doa dan ridhoku menyertaimu.”

Yang terjadi selanjutnya begitu mengharukan. Zulebid gugur sebagai syuhada’ dalam peperangan itu hingga sang istri bermimpi berjumpa dengannya. Dalam mimpi itu, Zulebid berkata “Istriku, aku baik-baik saja. Aku menunggumu disini. Engkaulah bidadari sejatiku. Semua bidadari disini apabila aku menyebut namamu akan menggumamkan cemburu padamu. Dan kan kubiarkan engkau yang tercantik di hatiku.”

Ya, kisah saya tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan kisah di atas. Meskipun kelak saya akan mengalami hal yang lebih berat dari yang terjadi saat ini, mestinya saya harus tetap bersabar dan bersyukur. Allah sedang mendidik saya (dan kita semua) dengan cara-Nya. Lagipula, saya tidak bisa mempersembahkan hal-hal spesial untuk suami saya. Saya belum bisa menjadi istri yang baik untuk suami saya yang luar biasa. Mungkin, dengan rasa sabar dan syukur yang seharusnya saya usahakan, setidaknya kelak saya tidak menambah kekecewaan suami terhadap saya.

 

Menjadilah setegar karang 

Sesejuk pagi, seindah rembulan

Sejernih hati, sebening embun

 Sepeka nurani, seperkasa mentari pagi

 (Belahan Jiwa – Seismic)

——–

“Jika saya siap menerima kehadiran suami yang belum pernah saya kenal sebelumnya dalam hidup saya, atas dasar apa saya tidak siap melepaskan kepergiannya?”

 
6 Comments

Posted by on April 28, 2014 in Uncategorized

 

Satu Bunga Untuk Kak Dian

  Siang ini saya mendapat sebuah kejutan spesial. Sebuah amplop berperangko terselip di bawah pintu. Tertulis alamat pengirim adalah Roro Ayu Kusumastuti, Indonesia Mengajar PO BOX 001 Labuha 97791. Halmahera Selatan, Maluku Utara. Seketika saya teringat surat yang saya kirim sebagai partisipan dalam acara Gerakan Indonesia Mengajar 2013 lalu. Saat itu, saya menulis 2 buah surat. Satu untuk relawan pengajar dan satu untuk seorang murid. Keduanya berada di pulau yang berbeda. Setelah saya kira surat itu takkan terbalas satu pun, ternyata hadiah siang hari ini mematahkan anggapan saya. 

 

Sawang Akar, 3 Maret 2014

Dari Nur Aini Idham

Halmahera Selatan, Maluku utara

Untuk Kak Dian

di Pasuruan, Jawa Timur

 

Hallo Kak.

Perkenalkan nama saya Nur Aini Idham, bisa panggil saya Ani. Saya duduk di kelas V (lima). Cita-cita saya ingin menjadi guru. Terima kasih.

Kakak, surat Kakak sudah aku terima dan dibaca. Surat Kakak cerdas sekali. Terima kasih banyak ya Kak untuk suratnya.

Sekian, terima kasih.

 
   

 

 

(Kemudian Dek Ani menggambar sebuah bunga)

Satu bunga untuk Kak Dian

 

                      Surat itu begitu singkat, tapi sungguh bermakna bagi saya. Cita-citanya begitu sederhana namun amat mulia. Guru. Bisa jadi ia belum begitu mengenal apa itu arsitek, ilmuwan, direktur, dan kata-kata asing lainnya. Tapi bisa jadi pula ia terinspirasi oleh relawan pengajar yang ia temui disana. Relawan yang dengan tulusnya berbagi ilmu di tempat yang sulit terjangkau, serta dengan semangatnya berbagi motivasi dan nilai-nilai kehidupan meski dalam waktu yang singkat.

                      Para relawan itu sudah bergerak cepat. Murid-murid itu sudah tersulut semangat. Lantas, apa yang sudah kita perbuat?

 
Leave a comment

Posted by on March 20, 2014 in Uncategorized

 

Satu Bunga Untuk Kak Dian

  Siang ini saya mendapat sebuah kejutan spesial. Sebuah amplop berperangko terselip di bawah pintu. Tertulis alamat pengirim adalah Roro Ayu Kusumastuti, Indonesia Mengajar PO BOX 001 Labuha 97791. Halmahera Selatan, Maluku Utara. Seketika saya teringat surat yang saya kirim sebagai partisipan dalam acara Gerakan Indonesia Mengajar 2013 lalu. Saat itu, saya menulis 2 buah surat. Satu untuk relawan pengajar dan satu untuk seorang murid. Keduanya berada di pulau yang berbeda. Setelah saya kira surat itu takkan terbalas satu pun, ternyata hadiah siang hari ini mematahkan anggapan saya. 

 

Sawang Akar, 3 Maret 2014

Dari Nur Aini Idham

Halmahera Selatan, Maluku utara

Untuk Kak Dian

di Pasuruan, Jawa Timur

 

Hallo Kak.

Perkenalkan nama saya Nur Aini Idham, bisa panggil saya Ani. Saya duduk di kelas V (lima). Cita-cita saya ingin menjadi guru. Terima kasih.

Kakak, surat Kakak sudah aku terima dan dibaca. Surat Kakak cerdas sekali. Terima kasih banyak ya Kak untuk suratnya.

Sekian, terima kasih.

 
   

 

 

(Kemudian Dek Ani menggambar sebuah bunga)

Satu bunga untuk Kak Dian

 

                      Surat itu begitu singkat, tapi sungguh bermakna bagi saya. Cita-citanya begitu sederhana namun amat mulia. Guru. Bisa jadi ia belum begitu mengenal apa itu arsitek, ilmuwan, direktur, dan kata-kata asing lainnya. Tapi bisa jadi pula ia terinspirasi oleh relawan pengajar yang ia temui disana. Relawan yang dengan tulusnya berbagi ilmu di tempat yang sulit terjangkau, serta dengan semangatnya berbagi motivasi dan nilai-nilai kehidupan meski dalam waktu yang singkat.

                      Para relawan itu sudah bergerak cepat. Murid-murid itu sudah tersulut semangat. Lantas, apa yang sudah kita perbuat?

 
Leave a comment

Posted by on March 20, 2014 in Uncategorized

 

Saya Kira Sedang Patah Hati

Suatu waktu di tahun 2010, saya dan keluarga sempat dilanda kegalauan yang cukup mengkhawatirkan. Saat itu, saya dinyatakan lolos seleksi masuk sebuah PTN yang terkenal mahal biayanya. Uang belasan juta harus disiapkan (dengan tenggat waktu sekian hari) sebagai uang pangkal serta untuk biaya lain-lain. Saat itu, keluarga saya tidak punya tabungan untuk biaya kuliah, ditambah lagi SPP kakak (yang berkuliah di PTN yang sama) harus segera dibayar.

Selama beberapa hari orang tua saya mencari pinjaman uang kemana-mana. Setiap pagi, ibu pergi mencari pinjaman dengan wajah penuh semangat, tapi selalu pulang dengan mata sembab karena pinjaman itu gagal didapatkan. Ayah pun seolah tak mau kalah. Setiap ada kesempatan, beliau berusaha gunakan meski kegagalan selalu juga melanda. Beberapa kali saya optimis akan bisa berkuliah, tapi sebanyak itu pula akhirnya saya merasa sedikit putus asa karena deadline pembayaran semakin mendekat sedangkan uang tak kunjung didapat.

“Kenapa ya, kok semua jalan mencari pinjaman serasa tertutup?” tanya kakak keheranan.

“Jika memang belum ada biaya, berhentilah kuliah sejenak tahun ini. Tahun depan barulah lanjutkan,” pesan ibu pada saya.

Hingga akhirnya pinjaman dari bibi kami dapatkan meski tak banyak. Ayah pun ternyata berhasil meminta permohonan pembayaran angsuran. Jadilah saat itu saya ”hanya” membayar sekian juta. Keesokan harinya, ternyata nama saya kembali dinyatakan lolos seleksi sebuah PTK yang saya idamkan dan yang bebas biaya.

Seketika saya tersadar. Saya merasa Allah telah melindungi saya. Bukan semua jalan telah tertutup, melainkan Allah telah menyiapkan jalan lain yang lebih indah.

Kisah itu hanya satu contoh karena masih banyak cerita yang lain. Berulang kali saya merasa telah ‘’patah hati’’ karena tak mendapatkan apa yang saya mau, berlipat kali Allah menunjukkan jawaban atas pertanyaan yang saya pendam. Bisa jadi cepat, bisa jadi pula butuh kesabaran untuk menemukannya di saat yang tepat

Seringnya, kita berburuk sangka atas segala kesulitan yang tampak di depan mata. Kita lupa bahwa kita hanya memakai sudut pandang sebagai manusia. Allah sangat mencintai kita, Allah Mahatahu apa yang kita perlu, tak sekadar apa yang kita mau.

Sebagai penutup, mari kita renungkan gambar di bawah ini baik-baik. Semoga bermanfaat.

Gambar

——-

وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ

            “Tetapi Boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu,                          padahal itu tidak baik bagimu; Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216)

 
2 Comments

Posted by on February 14, 2014 in Uncategorized

 

Long Distance Family Relationship – Cinta Jarak Jauh

“Andai waktu bisa berputar, kembali berulang ketika kita sekeluarga berkumpul bersama. Ah, tidak bisa ya,” ujar Ibu siang itu dengan sedikit haru.

—–

Sejak saya dan saudara-saudari saya beranjak dewasa, kerap kali ibu berbicara tentang jarak yang kan menjauh. Pun dengan ayah. Ketika kami—para anak-anak—masih kecil, kami sekeluarga memang selalu hidup bersama. Tapi, kami sudah mulai “dilatih” untuk menempuh Long Distance Family Relationship (LDFR). Tuntutan kerja ayah untuk selalu pindah-pindah kota menyebabkan kami beberapa kali mengalami LDFR, meski waktunya hanya sebentar. Pindah kota tentu memerlukan banyak persiapan, termasuk sekolah baru anak-anak yang biasanya baru akan pindah setelah libur cawu/semester untuk memudahkan. Sedangkan instansi ayah pastinya tidak melihat kondisi liburan atau tidak. Itulah penyebab LDFR sejenak kami.

Beberapa waktu belakangan ini, LDFR kami semakin terasa. Kakak yang sudah berkeluarga tinggal di Malang, saya kuliah di Tangerang Selatan 3 tahun kemarin, ayah bekerja di Makassar, sedangkan ibu dan adik-adik tinggal di Pasuruan karena beberapa pertimbangan. Beberapa waktu kedepan, kemungkinan besar saya sudah berada di kota entah dimana (risiko anak PTK) dan ayah kembali dimutasi.

Sedih memang ketika harus pergi jauh dari keluarga. Ketika kembali, ternyata tanpa terasa orang tua kita semakin menua dan saudara-saudari telah mendewasa. Ada detik-detik perjuangan bersama yang harus terlewatkan. Namun, dari LDFR ini saya belajar tentang banyak hal. Saya tahu bagaimana cara ayah untuk menjalin komunikasi dengan cara menelepon semua anggota keluarga setiap hari, bagaimana motivasi ayah senantiasa menemani ketika mental anak-anak jatuh, bagaimana kesetiaan ibu menanti suami dan anak-anaknya, bagaimana ibu mempersiapkan hal-hal spesial ketika kami sekeluarga berkumpul, bagaimana ayah dan ibu memberi kepercayaan pada anak-anak yang tinggal di tempat jauh sambil tetap mengontrol, dan masih banyak lagi. Kuncinya adalah komunikasi, kepercayaan, kesetiaan, tanggung jawab, dan komitmen. Allah telah memberi saya kesempatan untuk belajar kehidupan melalui kondisi ini. Tidak ada yang salah dengan masalah. Yang salah adalah ketika kita salah dalam menyikapinya.

 ********

(Merantaulah…

Kau akan dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan

Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang

 

Aku melihat air menjadi rusak karena diam tertahan

Jika mengalir menjadi jernih, jika tidak, akan keruh menggenang)

*Imam Syafi’i*

 

(Bukankah gunung jauh lebih menakjubkan dan lebih terlihat jelas oleh seseorang yang melalui lembah daripada mereka yang menghuni gunung?)

*Kahlil Gibran*

—–

“Biar jarak mencipta rindu ya, Bu,” jawab saya, kala itu.

 
Leave a comment

Posted by on February 12, 2014 in Uncategorized

 

High Level Education For A mother. Is it Important?

                When a woman decides to be a housewife, many people said that she doesn’t need to study until the highest level she can do. It caused by their opinion that a housewife will work only in the kitchen. Besides that,  she will only clean the house and keep her children.

                I disagree with that opinion. According to me, high level education for a woman—although she is a housewife—is very important because she will be a wife and be a mother. Why did I say that?

                Okay, let’s see Japan for the example. It has Kyoiku Mama and Ryosai Kenbo. Kyoiku Mama is education of mother. There are many women in Japan that don’t work. They just want to educate and keep their children. Kyoiku Mama teaches about politeness and other good values to make her children become better people. Most of Kyoiku Mama are undergraduate or postgraduate. They studied not for working, but for educating their children. Japan has good development in economy, and Kyoiku Mama is one of the reason.

                Apart of that, Japan has slogan ‘Ryosai Kenbo’. Ryosai is a good wife and Kenbo is a wise mother. Japan wants to make a good quality in relationship between mother and children. So, its next generation will have good personality. It’s great!

                It reminds me about a motivator’s answer in the other chance. One day, someone asked him, “What’s the function of your wife high level education? She studied abroad, but now she is a housewife.” That motivator said, “Yeah, my wife is a housewife. But, she is my children’s mother, my advisor to build our business, the owner of the asset, and my family’s doctor. So, her high level education is useful.” That motivator inspired me.

                What’s the conclusion? Here it is. We know that woman is a teacher for her children. Education will make her paradigm be better to see the problem, solve the problem, and teach her children. That’s why we are not allowed to underestimate the duty of woman, especially housewife. She has important position to build the country. It means that high level education is very important for her.

—–

(My final speaking examination in The Daffodils. Taken from some sources)

 
5 Comments

Posted by on February 9, 2014 in Uncategorized